0 8 min 1 dy

Written by: IMMawan Hajir Ahmad (Bidang Internal KORKOM IMM UAD 2025)

Pernikahan merupakan ikatan suci antara kedua insan,  laki-laki dan perempuan sebagai sebuah manifestasi dari cinta dan kasih. Dalam bahasa Arab, istilah al-Nikāḥ merujuk pada pernikahan dan hubungan seksual. Imam Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Naisaburi menyebutkan bahwa Al-Azhari mengatakan bahwa asal kata pernikahan dalam bahasa Arab adalah ‘al-Waṭ’u (bersenggama). Di samping itu, kata nikah juga digunakan untuk merujuk pada pernikahan karena ia merupakan sebab dari hubungan seksual. Misalnya, ketika kata nikah digunakan dengan kata ‘al-Maṭār’ (hujan), itu berarti tanah yang dilahirkan oleh hujan, dan ketika digunakan dengan kata al-Nas (lelah), itu berarti mata yang telah ditutupi oleh tidur. Al-Wahidi berkata, dan Abu al-Qasim al-Zajjaj menyatakan bahwa dalam bahasa Arab, nikah mengacu pada al-Waṭ’u dan al-Aqd secara keseluruhan.

Pernikahan adalah anugerah dari Allah yang diharapkan dapat menjadi sarana untuk melanjutkan keturunan sebagai pemelihara alam semesta (khalifah fī al-Arḍ). Oleh karena itu, Allah memerintahkan bagi mereka yang masih lajang dan sudah layak untuk segera melaksanakan pernikahan, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Nur ayat 23 yang berbunyi’:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ‘’

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkahwin) dari hamba-hamba sahaya-Mu yang lelaki dan hamba-hamba sahaya-Mu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui”.

 

Lebih lanjut Allah menjelaskan perihal fitrah manusia yang berpasang-pasangan terdapat dalam Surat al-Rum ayat 21 yang berbunyi:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا’ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ’’

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

 

Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pernikahan memiliki tuntutan mendasar, yaitu kebahagiaan spiritual. Melalui lembaga pernikahan, Allah memberikan kesempatan bagi umat manusia untuk memperoleh kebahagiaan baik secara fisik maupun spiritual, serta membentuk ikatan yang sah antara pria dan wanita.

Selain itu, dalam hadis Rasulullah menjelaskan tentang keutamaan menikah bagi siapa saja yang telah sanggup dan siap untuk menikah agar membentengi dirinya dari berbuat maksiat. Sabda tersebut berbunyi:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، ‌مَنِ ‌اسْتَطَاعَ ‌مِنْكُمُ ‌الْبَاءَةَ ‌فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء

Artinya: “Wahai para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu menikah maka hendaklah ia segera menikah, karena hal itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi tameng baginya” (HR. Muslim).

 

Namun tidak sedikit dijumpai banyak dari kalangan umat Islam yang memilih untuk tidak menikah dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi pilihan tersebut, baik itu karena kesibukannya dalam menuntut ilmu, atau karena faktor finansial yang tidak mendukung. Bahkan diantara mereka adalah para pemuka agama yang tentunya lebih paham perihal besarnya keutamaan menikah. Hal ini telah ada sejak zaman para ulama terdahulu, yang dimana Abdul Fattah Abu Ghuddah mengelompokkan para ulama ini dengan menyebutnya al- Ulama’ al-Uzzab dalam kitab nya ‘Al-Ulama’ al-Uzzāb’, al-ladẓiina’ Aṡaru al-Ilm alā’ al-Zawāj.

Diantaranya adalah Imam Nawawi al-Damasyqi yang dikenal sebagai pemuka mazhab Syafi’i, ulama sekaliber Imam Nawawi tentu lebih paham dengan besarnya keutamaan menikah, tetapi beliau lebih memilih membujang hingga akhir hayatnya. Dan tidak sedikit hadis-hadis seputar pernikahan yang beliau cantumkan dalam karya-karya nya.

Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan ditemukan dua indikasi penyebab Imam Nawawi tidak menikah:

  1. Penyebab yang pertama adalah Imam Nawawi memilih untuk menyibukkan diri dalam menuntut ilmu, dan pendapat ini adalah pendapat yang paling masyhur dikalangan ulama. Imam Nawawi telah menekuni bidang keilmuan sejak beliau masih kecil, yang boleh jadi menjadi penyebab tumbuhnya rasa kecintaan yang luar biasa terhadap ilmu. Bahkan diumur beliau yang masih belia yang notabenenya diumur tersebut adalah masa dimana anak-anak menghabiskan waktunya untuk bermain akan tetapi beliau mencurahkan waktunya untuk menuntut ilmu, maka sebagaimana yang dituturkan oleh Syekh Yasin bin Yusuf al-Marrakishi bahwa beliau menceritakan ketika Imam Nawawi kecil dipaksa dan diajak bermain oleh anak seusianya beliau menolak dan menangis, hal itu menggambarkan betapa besar kecintaan Imam al-Nawawi terhadap Al-Qur’an sejak masa kecilnya dan bagaimana ia mengabaikan hal-hal duniawi demi fokus pada ilmu dan agama.

Penyebab ini juga dikemukakan oleh Syeikh Abdul Fattah Abu Ghaddah dalam kitab nya Al-Ulama’ al-Uzzāb’, al-ladẓiina’ Aṡaru al-Ilm alā’ al-Zawāj atau Ulama Jomblo, Rela Tidak Beristri Demi Ilmu. Beliau menceritakan kezuhudan Imam Nawawi dan perjalanan keilmuannya.

Pendapat ini didukung dengan ditemukannya komentar ulama’ dalam dua kitab Imam Nawawi, yaitu kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzib dan kitab Syarḥ Thayyibah al-Nasyr li al-Nawawi yang mengafirmasi penyebab tersebut. Imam Nawawi mengutip perkataan Khatib al-Baghdadi bahwa “Bagi santri atau penuntut ilmu, sebisa mungkin, dianjurkan untuk melajang. Tujuannya apa? Supaya ia bisa fokus untuk mengkaji ilmu. Supaya ia tidak disibukkan dengan urusan dunia, mengurusi istri misalnya.”

            Imam Nawawi menambahkan,

هَذَا ‌كُلُّهُ ‌مُوَافِقٌ ‌لِمَذْهَبِنَا ‌فَإِنَّ ‌مَذْهَبَنَا ‌أَنَّ ‌مَنْ ‌لَمْ ‌يَحْتَجْ ‌إلَى ‌النِّكَاحِ ‌اُسْتُحِبَّ ‌لَهُ ‌تَرْكُهُ ‌وَكَذَا ‌إنْ ‌احْتَاجَ ‌وعجز ‌عَنْ ‌مُؤْنَتِهِ

“Ini semua sesuai dengan madzhab kami, karena madzhab kami mengatakan bahwa barangsiapa yang tidak membutuhkan pernikahan, maka sebaiknya dia menghindarinya, begitu juga jika dia membutuhkannya namun tidak mampu membiayainya”.

Imam Nawawi memilih untuk tidak menikah, dan keputusan tersebut dianggap sah serta dimaklumi oleh banyak ulama. Mereka menilai langkah ini sebagai cara untuk tetap fokus dalam mendalami ilmu dan beribadah, meskipun mereka juga mengakui bahwa pernikahan merupakan bagian penting dari ajaran Islam.

 

    1. Penyebab yang kedua adalah faktor lupa yang pada akhirnya ajal lebih dahulu tiba sebelum beliau sempat melangsungkan pernikahan. Mengapa hal ini menjadi penting dalam pembahasan ini karena boleh jadi beliau berkeinginan untuk menikah namun sudah lebih dulu meninggal, hal ini didukung oleh pernyataan beliau dalam kitab Uṣhul al-Wuṣhul ilā Allah Ta’ala:

الامام النووى لما جاءه الموت قالوا له: لم لم تتزوج؟قال: لو تذكرت لفعلت نسيت

Artinya: “Saat imam al-Nawawi akan wafat, para muridnya bertanya kepadanya: ((Kenapa engkau tidak menikah?)). Imam al-Nawawi pun menjawab: ((Kalaulah aku ingat, pasti aku akan melakukannya (menikah), hanya saja aku lupa”.

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa Imam Al-Nawawi, seperti halnya manusia pada umumnya, juga memiliki keinginan untuk menikah. Namun, karena kesibukan dan kecintaannya yang mendalam terhadap ilmu agama, ia lupa hingga akhirnya tidak sempat menikah. Faktor utama yang melatarbelakangi hal ini adalah keseriusannya dalam menuntut ilmu, serta pengaruh dari para ulama sebelumnya yang menganjurkan untuk menunda pernikahan saat masih dalam proses mendalami ilmu. Yang membedakan sebab ini dengan sebab yang pertama adalah sebab pertama yang memiliki kecenderungan bahwa Imam Nawawi benar-benar tidak ingin menikah karena ingin fokus menimba ilmu, sedangkan sebab yang kedua menunjukkan bahwa pada dasar nya beliau ingin menikah namun dikarenakan kesibukannya dalam menuntut ilmu yang akhirnya menyebabkan beliau lupa untuk menikah.

Diantara dua sebab yang penulis cantumkan sebagai indikasi penyebab Imam Nawawi tidak menikah, penulis cenderung sepakat dengan penyebab yang pertama, bahwasanya Imam Nawawi tidak menikah dikarenakan lebih memilih untuk fokus dengan keilmuan dan pendapat inilah yang paling masyhur dikalangan ulama.

Imam Nawawi termasuk seseorang yang merasa tidak memerlukan pernikahan. Baginya, jika menikah, hal itu justru dapat mengganggu fokusnya dalam pengabdian terhadap ilmu agama. Berkat pilihannya untuk hidup tanpa menikah, ia mampu mencurahkan seluruh perhatiannya pada penulisan karya-karya ilmiah yang representatif dan menjadi rujukan banyak kalangan.

Imam Nawawi memutuskan untuk tidak menikah bukan karena menolak pernikahan sebagai institusi, melainkan demi dedikasi penuhnya terhadap ilmu pengetahuan dan pengabdian kepada masyarakat. Keputusannya ini mencerminkan sikap zuhud dan komitmen yang tinggi terhadap pendidikan dan penyebaran ajaran Islam. Hingga saat ini, karya-karya beliau tetap menjadi rujukan penting, menunjukkan keberhasilannya meskipun ia memilih untuk hidup tanpa pernikahan. [FDL]